Tayangan halaman minggu lalu

Senin, 19 September 2011

Perkenalkan Semangat Baru

Perkenalan saya dengan pegunungan dimulai ketika masih kecil sering diajak berjalan-jalan di kaki gunung, lalu kemudian mencoba kemping walau masih diawasi dengan seksama oleh orang dewasa. Saya melakukan pemuncakan pertama tak terlalu cepat, yaitu baru pada masa kuliah dengan mendaki gunung Lawu di Jawa Tengah. Barulah setelah itu kegiatan mendaki gunung menjadi hobby dimana minimal setahun sekali rasanya ada yang kurang bila tak naik gunung.



Pada masa itu membicarakan puncak-puncak seperti Jayawijaya, Kilimanjaro atau pegunungan Himalaya seperti membincangkan tempat para dewa. Tak mungkin rasanya mencapai puncak-puncak itu, saya akan cukup mengenalnya dari buku saja. Toh, lambat laun dengan semakin banyak jam terbang pendakian kini kami membicarakannya sebagai sesuatu “tampak mungkin bisa dicapai”. Bisa dicapai selama ada ongkos, begitu maksudnya. Faktanya, beberapa teman saya sudah berhasil menjejakkan kakinya di puncak-puncak itu.



Kini selama memiliki dana yang memadai sudah umum bila kita mendengar obsesi siapapun untuk mendaki sebuah gunung yang legendaris. Artis yang tak pernah naik gunung pun dalam suatu kesempatan mengungkapkan obsesinya mendaki gunung Kilimanjaro. Para pendaki yunior kini selalu menancapkan ambisinya setinggi langit seperti Everest, seven summits dan sebagainya. Tentu fenomena ini perlu disambut hangat karena semakin banyak kalangan mencintai olahraga mendaki gunung.



Masalahnya sudah siapkah mereka untuk mengapai impiannya itu. Anda bisa naik gunung Gede kapan saja dan bila tak kuat tinggal turun lagi ke Cibodas, namun mendaki puncak salju seperti Himalaya tentu memerlukan persiapan bertahun-tahun. Itupun ketika ada “celah” cuaca cerah pada musim pendakian karena badai senantiasa mengintai. Kita bukanlah para pendaki edan seperti Krzysztof Wielicki dan Jerzy Kukuczka dari tim Polandia yang sengaja selalu melakukan pendakian puncak-puncak 8.000-an meter di musim dingin yang beku.



Hingga tahun 90-an para pendaki yang akan memuncaki Everest dianggap belum cukup umur bila belum mendaki puncak Himalaya lainnya, namun pandangan itu dengan cepat tergantikan oleh derasnya komersialisasi pendakian di Himalaya. Tentu saja mereka yang mengelola pendakian komersial ke puncak Everest pun seperti misalnya Himayan Experience (Himex) dan sebagainya juga tak main-main qualifikasinya. Reputasi mereka setinggi puncak Everest itu sendiri.



Namun bagi sebagian pendaki elite yang terbiasa menembus ketinggian 8.000 meter, komersialisasi tersebut merupakan sikap yang merendahkan kesucian puncak-puncak Himalaya. Mereka menyayangkan puncak yang harusnya dihormati dijual demi segepok tarif pendakian kepada mereka yang jika tidak dibantu para pemandu akan kesulitan mencapai puncak gunung menengah sekalipun. Puncak-puncak seperti Everest mestinya hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang memang mampu mencapainya. Apakah anda mencapai puncak karena memang mampu mencapainya atau dibantu mencapainya? Suatu hal yang berbeda.



“Puncak Everest,” keluh kalangan pendaki tradisional itu ,”sudah direndahkan derajatnya.”



Beberapa tahun belakangan tim yang digadang-gadang untuk memuncaki Seven Summits atau Everest tumbuh bagai jamur musim cendawan di Indonesia. Sekali lagi, hal ini merupakan eforia yang perlu disambut hangat, namun wajar bila disikapi dengan hati-hati pula. Hadidjojo, seorang sesepuh dunia petualangan pada 1985 pernah menulis sebuah artikel Jangan Sembarang Naik Gunung Bila Tak Punya Sayap. Ini untuk menengahi perdebatan yang dipicu tulisan Norman Edwin bahwa obsesi tim putri saat itu ke Himalaya sebagai “terlalu mendongak ke atas”.



Beberapa pendaki senior pun mengungkapkan kekhawatiran mereka akan suburnya budaya instan dalam pendakian gunung salju dimana proses semakin kurang dihargai. Pendaki kawakan Ogun pernah menyatakan pendapatnya,” Saya cenderung sebaiknya melalui tahapan-tahapan, dari gunung yang kecil dulu, sehingga ada peluang untuk evaluasi dan ukur diri.”



Tentu pendapat dari para sesepuh dunia petualangan di Indonesia itu patut kita hargai dan hormati. Mereka sudah makan asam garam dunia petualangan tatkala kita masih bocah ingusan atau bahkan belum lahir. Sungguhpun begitu, saya rasa yang menjadi penekanan mereka adalah rasa respek yang harus dimiliki seorang petualang.



Dalam suatu pendakian gunung, bila tak memiliki respek terhadap alam maka manusia sedang berada dalam bahaya besar yang dapat mengakibatkan tragedi. Didampingi guide paling berpengalaman maupun perlengkapan lengkap pun, tanpa mempunyai respek terhadap alam sebaiknya segera turun dari pegunungan. Erik Weihenmeyer, seorang seven summiter, suatu saat berucap,” Pegunungan adalah tempat terkuat di muka bumi dan menuntut penghormatan tertinggi.”



Pada masa kini dengan semakin berkembangnya informasi, teknologi, dan pendakian gunung sebagai sebuah industri wisata, saya percaya lebih terbuka peluang bagi para petualang untuk mendaki gunung impiannya lebih cepat dari yang bisa dicapai di masa lampau. Bahkan orang awam pun mulai dari ibu rumah tangga hingga mantan pecandu yang tak pernah melihat crampon seumur hidupnya bisa mendaki gunung Chimbarazo di Ekuador atau Mount Baker di Uganda. Tak percaya? Lihat saja tayangan Extreme Dreams di TV BBC Knowledge atau tayangan sejenisnya.



Saya menghormati betul tatakrama dan budaya hormat menghormati yang berkembang sangat baik diantara para penggiat kegiatan alam bebas karena saya merupakan bagian dari itu. Namun pendakian gunung kini telah semakin personal dimana puncak gunung lebih merupakan masalah pencapaian pribadi, tak lagi harus terikat pada klub-klub atau sejenisnya. Di luar negeri hal tersebut sudah terjadi sejak lama dimana tim-tim internasional sudah mulai jarang terdengar dalam ekspedisi Himalaya, siapapun yang cukup bugar dan memiliki uang atau sponsor bisa memilih daftar puncak gunung tertinggi seperti memilih menu makan di restoran.



Namun perlu kita resapi yang pernah dikatakan legenda Everest, Sir Edmund Hillary suatu ketika, ”Teknologi telah menghasilkan perubahan besar teknik-teknik eksplorasi… namun pada akhirnya pada manusia sendiri semuanya akan berpulang. Ketika sesuatu menjadi lebih menantang dan seperti serba salah, dibutuhkan kualitas manusia yang sama sebagaimana masa lalu untuk memenangkan tantangan itu: kualitas keberanian, kecerdasan, kemampuan menempatkan diri dalam ketidaknyamanan dan penderitaan, antusiasme serta tabah dan mempunyai determinasi tinggi”



Jaman sudah berubah dan walau berusaha untuk memahami kita tak akan pernah dapat menilai generasi paling anyar dari kacamata generasi kita. Pegunungan tidak berubah dari masa ke masa, budaya pendakianlah yang berubah dengan cepat seperti anak panah yang melesat dari busurnya.



Wahai serigala-serigala muda, silakan berlari secepatnya mengejar impian-impian yang kalian gantungkan setinggi langit itu. Berlarilah lekas selagi lelahmu kuncup. Sungguhpun begitu, saya pribadi tetap lebih betah bercengkrama dalam suasana generasi saya yang tenang, steady, dan penuh hormat pada sesepuh. Saya akan menunggu saja, hingga gunung itu sendiri mengundang saya ke puncaknya.